IKHTISAR PULAU SEBUKU
Antara Sejarah dan Legenda
Pulau
Sebuku adalah sebuah pulau yang termasuk wilayah kecamatan Pulau Sebuku
di kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan. Pada zaman kejayaan Kerajaan
Majapahit, pulau ini disebut Sawaku yang termasuk daerah taklukan
Majapahit seperti tersebut dalam Kakawin Nagarakertagama. Kemajemukan
etnis dan Budaya, selain memberi nuansa yang tegas terhadap integritas
Bangsa, juga menjadi lahan kajian yang sangat menarik untuk terus digali
tanpa putus. Selain itu, jangkauan kacamata kita menjadi semakin jauh
dan luas, terhadap hidup yang penuh warna, sehingga kita semakin
cenderung mensyukuri kuasa Tuhan atas beragam anugerah yang tak kunjung
habis dan tiada batas. Pulau Sebuku, adalah salah satu dari beberapa
pulau yang tersebar di perairan Selat Makassar, dan menjadi salah satu
Daerah Kecamatan di Daerah Tingkat II Kabupaten Kotabaru Propinsi
Kalimantan Selatan dengan nama Kecamatan Pulau Sebuku. Kecamatan ini
dari sudut pandang geograpis terkesan terpencil dan terisolir, meskipun
pada kenyataannya tidaklah begitu, karena kemapanan beberapa anggota
masyarakatnya, menjadi penunjang bagi pengadaan sarana transportasi laut
antar pulau yang cukup memadai sehingga pergerakan warga kecamatan
tersebut dari dan ke Ibukota Kabupaten terjadi hampir setiap hari, dari
pagi sampai sore hari. Disamping itu hampir separuh penduduknya hidup
dengan mata pencaharian sebagai nelayan.Sebagai nelayan, berlayar atau
lebih tepatnya disebut melaut, dari satu tempat ketempat lain adalah
keseharian, kalaupun tidak disebut keniscayaan. Sehingga, meskipun
tinggal di daerah yang terpencil, komunikasi dengan dunia luar tidaklah
terhambat.Tidak begitu jelas motivasi apa yang mendorong beberapa kelompok masyarakat dari daerah Hulu Sungai (Rantau, Kandangan, Barabai dan Amuntai) untuk merantau ke Pulau ini, mengingat kondisi alam di tempat ini, disamping terpencil, tanahnya tidak begitu subur dan ketersediaan air tawar dimusim kemarau relative sulit. Jika dibanding dengan kondisi alam di daerah yang mereka tinggalkan, maka dapat dipastikan bahwa kondisi tempat asal mereka jelas lebih baik dan lebih subur. Disamping itu, ditahun – tahun awal perpindahan tersebut, areal – areal garapan yang belum digarap atau tak bertuan masih cukup luas, sehingga alasan ketiadaan areal juga menjadi tidak logis. Kalaupun perpindahan itu terjadi karena keterkaitan mata pencarian mereka dengan letak geografis Pulau ini yang berada di Sebelah Barat Selat Makasar dan sebelah Timur Selat Sebuku, sehingga cocok untuk komunitas nelayan, maka Orang Banjar pada umumnya sejak dahulu sampai sekarang mayoritas adalah petani –bukan nelayan- dan kalaupun ada yang menjadi nelayan, maka sifatnya lebih sebagai nelayan sungai atau nelayan laut sampingan. Oleh karena itu perpindahan ini sulit untuk disebut sebagai perpindahan ekonomi.
Perpindahan dengan alasan Keamananlah yang terlihat lebih tepat sebagai motivasi utama. Karena daerah-daerah Hulu Sungai sejak abad ke 17 sampai dengan awal abad ke 20 pada umumnya merupakan titik – titik perjuangan yang terhebat melawan penjajah Belanda dan Jepang di kawasan Kalimantan Selatan. Arus Pengungsian masyarakat pejuang maupun non pejuang di wilayah ini mayoritas menuju ke arah Pegunungan Meratus terutama di daerah-daerah Loksado, Hampang, Halong Batangalai, Batu Benawa dan Sungai Pinang. Gerak pengungsian ini jika sedikit diteruskan ke arah Timur Laut, akan sampai ke daerah Pesisir Pulau Kalimantan yang posisinya berseberangan dengan Pulau Laut Kotabaru. Namun karena di daerah-daerah pesisir ini juga banyak terjadi chaos antara masyarakat dengan penjajah, terutama di daerah Tanah Laut Pelaihari, Pagatan dan Pamukan, sehingga mengacu pada sifat dasar manusia yang cenderung terus mencari tempat yang lebih aman dari sebelumnya. Dapat diasumsikan pergerakan pengungsian itu, sebagian mencapai Pulau Laut Kotabaru bahkan beberapa terus sampai ke Pulau Sebuku, sebagai salah satu Pulau di sekitar Pulau Laut Kotabaru.
Beberapa keterangan dari orang-orang tua yang masih hidup, seperti Sibat (Sungai Buah), H.Amir (Kanibungan) dan Masude (Sekapung) serta melihat dari beberapa fakta yang masih tersisa, bahwa penduduk asli Pulau Sebuku adalah masyarakat Banjar laut Pulau. Namun kerena masyarakat dari Suku Banjar Laut Pulau ini kurang mampu berintegrasi dengan masyarakat pendatang, lambat laut dominasi penduduk digeser oleh para pendatang yang umumnya dari kelompok pengungsian (banjar Pahuluan) atau pelancong (suku Bugis dan Mandar). Keterpencilan Pulau Sebuku, pada waktu itu, ditambah dengan keterbatasan sarana transportasi, tentu sangat menguntungkan bagi pengungsi tersebut, untuk mendapatkan rasa aman dari ancaman-ancaman yang mungkin timbul. sehingga perlahan namun pasti, asap-asap kehidupanpun mulai mengepul di Pulau ini. Meskipun tidak bertepatan, hadir pula di Pulau itu perantau-perantau suku Bugis dan Mandar dari Sulawesi Selatan. Disamping memiliki kemiripan motivasi dengan masyarakat Banjar (pengunsi). Factor budaya kelautan yang melekat erat, juga menjadi pendorong bagi mereka untuk menjelajahi samudera dan laut lepas yang terhampar begitu luas, sembari sewaktu-waktu singgah di Pulau-Pulau terdekat yang mereka lalui untuk beristirahat atau menghindari amukan gelombang yang sewaktu waktu tidak bersahabat, sekaligus memasarkan hasil tangkapannya kepada penduduk setempat yang mereka singgahi.Pulau Sebuku, yang kedudukannya relative dekat dengan Pulau Sulawesi-pun tak luput sebagai tempat persinggahan tersebut. Dari sekedar singgah, pendatang Sulawesi ini sebagian mencoba menetap. Awalnya pendatang suku Bugis tinggal di daerah Bagu Riam dan Daeng Satuju. Lambat laun terbentuklah suatu komunitas baru yang turut memberi warna terhadap kemejemukan yang mulai merebak di seputaran Pulau Sebuku. Yakni komunitas suku Bugis, dan Mandar, namun karena faktor kesesuaian lokasi tempat tinggal dengan mata Pencaharian, setahap demi setahap masyarakat Bugis ini mendominasi daerah pesisir Utara dan Selatan (Sekapung, Rampa dan Tanjung Mangkok), sementara masyarakat Banjar beralih ke lokasi – lokasi Telaga, Bagu Riam, Kanibungan,Gumbil, Taluk Takapit, Pantai Buluh, Mandin, Pulau Tiwadak, Sarakaman, Sungai Basar dll. Peta penyebaran anggota masyarakat ini, terlihat dinamis, karena terjadi perpindahan-perpindahan letak desa secara bertahap pada kurun waktu berjalan, sehingga dapat ditemui beberapa lokasi bekas kampung yang sudah tidak ditinggali/ atau hanya satu-dua penduduk saja yang tersisa. Dan jadilah komunitas Pulau Sebuku seperti yang sekarang ini kita lihat dan rasakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar