(Riwayatmu dulu dan nasibmu dimasa akan Datang)
Mungkin banyak yang tidak tahu, bahwa Pulau Sebuku sebuah pulau kecil
yang berada disebelah tenggara pulau kalimantan dan merupakan bagian
dari Kabupaten Kotabaru serta merupakan penghasil batubara telah berada
dalam kitab Negara Kartagama dengan nama Sawaku karangan Mpu Prapanca
(1365) yang ditulis pada masa kejayaan Raja Hayam Wuruk yang merupakan
raja dari Kerajaan Majapahit.
Sekitar tahun 1997 pulau ini mulai ditambang untuk diambil SDA (besi
dan batu bara) sampai tulisan ini dibuat (Oktober 2010) penambangan
bijih besi dan penambangan batu bara masih berlangsung. Saat ini 23 Mei
2011, penambangan masih terus berlangsung dan dari khabar yang didengar
tenaga kerja lokal sudah mulai di PHK karena perusahan lebih memilih
pekerja dari luar pulau sebuku.
Pulau Sebuku, adalah salah satu dari beberapa pulau yang tersebar di
perairan Selat Makassar, dan menjadi salah satu Daerah Kecamatan di
Daerah Tingkat II Kabupaten Kotabaru Propinsi Kalimantan Selatan dengan
nama Kecamatan Pulau Sebuku.Kecamatan ini dari sudut pandang geograpis
terkesan terpencil dan terisolir, meskipun pada kenyataannya tidaklah
begitu, karena kemapanan beberapa anggota masyarakatnya, menjadi
penunjang bagi pengadaan sarana transportasi laut antar pulau yang cukup
memadai sehingga pergerakan warga kecamatan tersebut dari dan ke
Ibukota Kabupaten terjadi hampir setiap hari, dari pagi sampai sore
hari. Disamping itu hampir separuh penduduknya hidup dengan mata
pencaharian sebagai nelayan.Sebagai nelayan, berlayar atau lebih
tepatnya disebut melaut, dari satu tempat ketempat lain adalah
keseharian, kalaupun tidak disebut keniscayaan. Sehingga, meskipun
tinggal di daerah yang terpencil, komunikasi dengan dunia luar tidaklah
terhambat ke
Pulau ini, mengingat kondisi alam di tempat ini, disamping terpencil,
tanahnya tidak begitu subur dan ketersediaan air tawar dimusim kemarau
relative sulit. Jika dibanding dengan kondisi alam di daerah yang mereka
tinggalkan, maka dapat dipastikan bahwa kondisi tempat asal mereka
jelas lebih baik dan lebih subur. Disamping itu, ditahun – tahun awal
perpindahan tersebut, areal – areal garapan yang belum digarap atau tak
bertuan masih cukup luas, sehingga alasan ketiadaan areal juga menjadi
tidak logis. Kalaupun perpindahan itu terjadi karena keterkaitan mata
pencarian mereka dengan letak geografis Pulau ini yang berada di Sebelah
Barat Selat Makasar dan sebelah Timur Selat Sebuku, sehingga cocok
untuk komunitas nelayan, maka Orang Banjar pada umumnya sejak dahulu
sampai sekarang mayoritas adalah petani –bukan nelayan- dan kalaupun ada
yang menjadi nelayan, maka sifatnya lebih sebagai nelayan sungai atau
nelayan laut sampingan. Oleh karena itu perpindahan ini sulit untuk
disebut sebagai perpindahan ekonomi. Perpindahan
dengan alasan Keamananlah yang terlihat lebih tepat sebagai motivasi
utama. Karena daerah-daerah Hulu Sungai sejak abad ke 17 sampai dengan
awal abad ke 20 pada umumnya merupakan titik – titik perjuangan yang
terhebat melawan penjajah Belanda dan Jepang di kawasan Kalimantan
Selatan. Arus Pengungsian masyarakat pejuang maupun non pejuang di
wilayah ini mayoritas menuju ke arah Pegunungan Meratus terutama di
daerah-daerah Loksado, Hampang, Halong Batangalai, Batu Benawa dan
Sungai Pinang. Gerak pengungsian ini jika sedikit diteruskan ke arah
Timur Laut, akan sampai ke daerah Pesisir Pulau Kalimantan yang
posisinya berseberangan dengan Pulau Laut Kotabaru. Namun karena di
daerah-daerah pesisir ini juga banyak terjadi chaos antara masyarakat
dengan penjajah, terutama di daerah Tanah Laut Pelaihari, Pagatan dan
Pamukan, sehingga mengacu pada sifat dasar manusia yang cenderung terus
mencari tempat yang lebih aman dari sebelumnya. Dapat diasumsikan
pergerakan pengungsian itu, sebagian mencapai Pulau Laut Kotabaru bahkan
beberapa terus sampai ke Pulau Sebuku, sebagai salah satu Pulau di
sekitar Pulau Laut Kotabaru. Beberapa keterangan dari orang-orang tua
yang masih hidup, seperti Sibat (Sungai Buah), H.Amir
(Kanibungan) dan Masude (Sekapung) serta melihat dari beberapa fakta
yang masih tersisa, bahwa penduduk asli Pulau Sebuku adalah masyarakat
Banjar laut Pulau. Namun kerena masyarakat dari Suku Banjar Laut Pulau
ini kurang mampu berintegrasi dengan masyarakat pendatang, lambat laut
dominasi penduduk digeser oleh para pendatang yang umumnya dari kelompok
pengungsian (banjar Pahuluan) atau pelancong (suku Bugis dan Mandar).
Keterpencilan Pulau Sebuku, pada waktu itu, ditambah dengan
keterbatasan sarana transportasi, tentu sangat menguntungkan bagi
pengungsi tersebut, untuk mendapatkan rasa aman dari ancaman-ancaman
yang mungkin timbul sehingga perlahan namun pasti, asap-asap
kehidupanpun mulai mengepul di Pulau ini. Kehidupan awal mereka dipulau
sebuku dimulai dengan hidup berkelompok dan membentuk koloni.
Meskipun tidak bertepatan, hadir pula di Pulau itu perantau-perantau
suku Bugis dan Mandar dari Sulawesi Selatan. Disamping memiliki
kemiripan motivasi dengan masyarakat Banjar (pengungsi). Factor budaya
kelautan yang melekat erat, juga menjadi pendorong bagi mereka untuk
menjelajahi samudera dan laut lepas yang terhampar begitu luas, sembari
sewaktu-waktu singgah di Pulau-Pulau terdekat yang mereka lalui untuk
beristirahat atau menghindari amukan gelombang yang sewaktu waktu
tidak bersahabat, sekaligus memasarkan hasil tangkapannya kepada
penduduk setempat yang mereka singgahi.
Pulau
Sebuku, yang kedudukannya relative dekat dengan Pulau Sulawesi-pun tak
luput sebagai tempat persinggahan tersebut. Dari sekedar singgah,
pendatang Sulawesi ini sebagian mencoba menetap. Awalnya pendatang suku
Bugis tinggal di daerah Bagu Riam dan Daeng Satuju. Lambat laun
terbentuklah suatu komunitas baru yang turut memberi warna terhadap
kemejemukan yang mulai merebak di seputaran Pulau Sebuku. Yakni
komunitas suku Bugis, dan Mandar, namun karena faktor kesesuaian lokasi
tempat tinggal dengan mata Pencaharian, setahap demi setahap masyarakat
Bugis ini mendominasi daerah pesisir Utara dan Selatan (Sekapung, Rampa
dan Tanjung Mangkok), sementara masyarakat Banjar beralih ke lokasi –
lokasi Telaga, Bagu Riam, Kanibungan,Gumbil, Taluk Takapit, Pantai
Buluh, Mandin, Pulau Tiwadak, Sarakaman, Sungai Basar dll. Peta
penyebaran anggota masyarakat ini, terlihat dinamis, karena
terjadi perpindahan-perpindahan letak desa secara bertahap pada kurun
waktu berjalan, sehingga dapat ditemui beberapa lokasi bekas kampung
yang sudah tidak ditinggali/ atau hanya satu-dua penduduk saja yang
tersisa. Dan jadilah komunitas Pulau Sebuku seperti yang sekarang ini
kita lihat dan rasakan.
GAMBARAN UMUM KEADAAN WILAYAH
DAN DESA SAMPAI DENGAN TAHUN 1999
KECAMATAN PULAU SEBUKU
Pulau
Sebuku mulanya merupakan bagian dari Kecamatan Brangas, dengan dusun –
dusun kecil yang dikelompokkan menjadi 4 buah Desa, yakni Desa Sungai
Bali (Sei Bali), Desa Sarakaman, Desa Kanibungan dan Desa Sekapung.
Petugas Kecamatan yang ada dilokasi ini
Kecamatan
ini, sejak resmi menjadi sebuah kecamatan tersendiri – lepas dari
Kecamatan Pulau Laut Timur Berangas - mengalami penambahan / pemekaran
jumlah Desa.
Desa
Sungai Bali dipecah menjadi empat buah Desa yaitu Desa Sungai Bali (1)
, Desa Rampa (2) dan Desa Tanjung Mangkuk (3) dan Desa Gunung Halaban
(4). Selanjutnya Desa Sarakaman dibagi menjadi Desa Sarakaman (5), Desa
Sungai Besar (6) dan Desa Belambus (7). Desa Sekapung (8) tidak
mengalami pemekaran, Terakhir Desa Kanibungan di pecah menjadi Desa
Kanibungan (9) Sungai Alas (10), Desa Mandin Libak (11) dan Desa Mandin
Luar (12).
Dari waktu kewaktu jumlah Desa ini senatiasa mengalami perubahan akibat adanya pemekaran atau perampingan.
Populasi
penduduknya di tahun 2004 mencapai lebih dari 6000 jiwa dengan
penyebaran yang tidak merata.Hampir setengah penduduknya bertempat
tinggal daerah pesisir bagian Utara Pulau Sebuku, sepertiganya tinggal
di pesisir bagian Selatan dan sisanya menyebar dari Selatan ke Utara.
Sungai Bali sebagai pusat administrasi juga dilengkapi dengan kantor Kecamatan, Polsek, Koramil dan Puskesmas
Sementara
di Desa yang berada dalam lingkup wilayahnya dipimpin oleh
Kepala-Kepala Desa yang lazim disebut Pembakal. Kepala-Kepala Desa
masih dipilih secara tradisional. Yaitu dipilih karena latar belakang
kekayaan, penguasaan lahan, senioritas, hubungan kekeluargaan dan
pengaruhnya di masyarakat, baru memasuki tahun – tahun awal Orde
Reformasi, dinamika Demokrasi dalam pemilihan Kepala Desa dan Pejabat
Desa lainnya semakin nampak.
DESA SEKAPUNG
Desa
Sekapung, terletak di ujung Selatan Pulau Sebuku, bertopografi rendah
(antara 0 – 25 m di atas permukaan laut). Masyarakat awal yang tinggal
di lokasi ini adalah Suku Banjar Laut Pulau. Namun karena pola hidup
yang cenderung terbiasa homogen (tidak terbiasa bergabung dengan orang
lain yang berbeda suku) serta geografis pantai yang tidak sesuai dengan
mata pencaharian dan pola hidup semula, secara bertahap orang-orang Suku
Laut Pulau ini bergeser ke Utara, dengan cara menjual tanahnya kepada
para pendatang dari Sulawesi dan membeli atau menempati lokasi baru di
wilayah Kanibungan.
Orang
sulawesi pertama yang tinggal di Bagu Riam (3-4 km kesebelah Utara dari
Desa Sekapung) dan pindah ke daerah Sekapung adalah keluarga H.Kanda
dan H.Libu dari suku Mandar, yang selanjutnya menjadi cikal bakal bagi
masyarakat Sekapung. Tempat tinggal keduanya sebelumnya adalah di
Tanjung Pemancingan Kotabaru. Sehubungan dengan aktivitasnya mengambil
telur penyu di Samber Gelap, beliau sering melintasi Pulau Sebuku, dan
kadang-kadang singgah di pulau dekat pesisir Sekapung, untuk
menghindari gelombang yang relative besar. Pulau tersebut kemudian
diberi nama Pulau Perdamaian atau pandamaian. H.Kanda memiliki 4 orang
anak yang merupakan orang keturunan Sulawesi pertama yang dilahirkan di
desa Sekapung, yaitu Husein, H.Dullah, Sairah dan H.Jabbar. Sementara
H.Libu memiliki 5 orang anak yaitu Nahang, H.Dile, Taher, Merah dan
Sahliah. Melihat dari usia cucu H.Kanda yang ada sekarang (tahun 2004),
diperkirakan awal keberadaan orang Sulawesi di desa Sekapung terjadi di
akhir abad ke 19.
Sebagian
besar warga sekapung yang ada saat tulisan ini dibuat, adalah keturunan
H.Kanda dari generasi ke tiga (cucu), empat (buyut) lima
(intah/canggah) dan keenam (muning/wareng).
Generasi yang dominan adalah generasi keempat dan kelima yang menempati usia praproduktif.
Kuburan
H.Kanda dan Husein terdapat di bagian Barat Laut Desa, dekat dengan
lokasi Tanjung Kepala. Daerah ini menurut keterangan beberapa orang tua
di Sekapung, merupakan lokasi awal Desa Sekapung, namun sekarang sudah
tidak ditinggali lagi. Sementara kuburan H.Libu terdapat di sebelah
Utara Desa, dikawasan yang sekarang disebut sebagai Kampung Tengah,
berseberangan dengan Gedung Olah Raga yang dibangun pada tahun 2004.
Kepala
Desa definitive pertama yang menjabat di tahun 1930-an adalah Bapak
Cokkong, dilanjutkan oleh Bapak Tengge dan Nanti.Bapak Nanti, adalah
Kepala Desa dari Suku Banjar Laut Pulau yang terakhir di Sekapung.
Selanjutnya kepemimpinan beralih ke Suku Bugis/Mandar atas nama Tahir
bin H. Libu, lalu H.Abul (menantu H.Libu), Mashude bin H.Dullah bin
H.Kanda, Darmin bin Saibe binti Sairah bin H.Kanda. Dan terakhir
(pejabat Kepala Desa saat tulisan ini dibuat) adalah Juhriansyah bin
H.Jebbar bin H.Kanda lalu Abdul Hafid (2009)
Peralihan
kepemimpinan dari Suku Banjar Laut Pulau (sekarang disebut penduduk
Pulau Laut) ke Suku Bugis/Mandar ini juga menandai perubahan dominasi
anggota masyarakat, yang semula didominasi Suku Banjar Laut Pulau
menjadi hampir keseluruhan dari Suku Bugis dan Mandar.
Jumlah
anggota masyarakat berdasarkan cacah pada tahun 1999 mencapai 1052
jiwa, terdiri atas 265 keluarga dengan pembagian berdasarkan Rukun
Tetangga adalah RT I 255
Jiwa, RT II 166 Jiwa, RT III 269 Jiwa, RT IV 238 Jiwa dan RT V 124
Jiwa. Kepadatan penduduk mencapai 28 jiwa per satu kilometer perseginya.
Migrasi yang terjadi di Kawasan Sekapung lebih dominan bersifat Migrasi masuk ketimbang keluar. Peningkatan
jumlah Penduduk akibat migrasi ini terlihat tegas sejak tahun 1997
hingga sekarang. Hal ini dilatar belakangi oleh eksistensi Perusahaan
Pertambangan Batu Bara PT.BCS, PT.JHCI/LCI, CV Hasrat, PT.Geoservices,
PT.BUMA, PT.SILO dan Perusahaan Jasa PT.PBU serta CV.Padang Kuring,
sehingga motif migrasi kedalam yang terjadi di Desa Sekapung adalah
motif mencari pekerjaan.
Sejauh
ini tidak ada pencatatan administrasi yang tertib terhadap kehadiran
imigran-imigran ini, sehingga terjadi kesulitan untuk
mengidentifikasikan para pendatang tersebut.
Kaitan
antara bentuk muka bumi dengan kegiatan ekonomi penduduk Sekapung
terlihat sangat jelas. Tempat tinggal mereka yang berada di kawasan
tepi pantai sejalan dengan mata pencaharian mereka sebagai nelayan,
meskipun dari waktu kewaktu jumlah nelayan ini mengalami penurunan
akibat beberapa diantara mereka beralih mata pencaharian, baik sebagai
karyawan perusahaan, pedagang atau lainnya. Dalam aktivitasnya, para
nelayan ini mayoritas mempergunakan sarana balapan (sejenis kapal kecil
bermesin) dan sebagian kecilnya mempergunakan perahu dayung. Metode
pencarian ikan juga berubah-ubah sesuai dengan musim tangkapan. Metode
penangkapan itu antara lain; mengondrong (mencari udang), membagang
(mencari cumi) merempa (menjala ikan pantai) Matonda-tonda (memancing
ikan sambil berputar mempergunakan balapan) Ma’meng (memancing biasa)
atau mencari ubur-ubur.
Dari
survey yang dilakukan tahun 2000 tercatat jumlah nelayan mencapai 361
orang atau 63,89 % dari jumlah penduduk usia produktif ( usia dewasa ),
selebihnya 65 orang (11,5 %) sebagai Karyawan Perusahaan, 12 orang (2,12
%) Guru, 14 orang (2,48 %) pedagang , 39 orang petani ( 6,90 %) dan
selebihnya ( 13.92 %) tidak memiliki mata pencaharian yang tertentu .
Angka pengangguran tak kentara menjadi cukup besar karena banyaknya anak
usia sekolah ( SLTP, SLTA DAN PT ) yang tidak lagi melanjutkan
pendidikannya, tetapi juga tidak memiliki mata pencaharian yang pasti. Sebagian
besar dari mereka ikut kegiatan orang tuanya. Sehingga angka
pengangguran ini masih dalam katagori pengangguran tidak ketara. Angka
ketergantungannya mencapai 55,11 menunjukkan angka ketergantungan yang
tinggi.
Dari
sudut pandang pendidikan, jumlah penduduk usia sekolah yang aktif
mengikuti pendidikan mencapai 163 siswa SD atau 52,58 % dari 310
jumlah penduduk usia sekolah, 35 siswa SMP ( 11,29 %) dan selebihnya
36,13 % adalah tamatan SDN atau yang berhenti dari SD yang tidak lagi
melanjutkan pendidikannya ke SMP.
Pada dasarnya kondisi lingkungan di wilayah ini, meskipun lamban tapi
tetap bersifat dinamis, jumlah bangunan rumah yang terdapat di daerah
sekapung sampai awal tahun 2000 mencapai
245
buah, nyaris eqiupalen dengan jumlah Rumah Tangga yang mencapai 265
Keluarga . Kondisi Perumahannyapun relatif cukup baik dengan uraian 2
buah (0,8%) rumah permanen, 6 buah (2,45%) semi permanen 26 buah(10,61%)
rumah ulin dan selebihnya rumah ulin - papan atau rumah papan. Di
daerah Kalimantan Selatan ,pada umumnya atap rumah manjadi salah satu
indikator untuk mengetahui tingkat kesejahteraan pemilik rumah, jumlah
rumah atap daun (katagori pra sejahtera) mencapai 85 buah atau 34,65 %
dari jumlah rumah yang ada, rumah atap sirap (katagori sejahtera) 75
buah (30.61%) 19 buah (7,75%) atap genteng dan selebihnya 14,99 % atap
seng.
Tempat
peribadatan yang ada di daerah ini terdiri atas satu buah mesjid dan
satu buah mushola. Bangunan umum lainnya adalah satu bangunan Sekolah
Dasar,satu bangunan SMPN 2 Pulau Sebuku, satu SMA Model Al Khawarizmi,
satu Puskesmas Pembantu, dan satu Rumah Bidan. Sementara penerangan
diusahakan sendiri secara pribadi oleh penduduk setempat melalui
pengadaan genset. Bagi mereka yang tidak mampu membeli genset ini tetap
dapat memperoleh penerangan dengan menyambung pada pemilik genset
terdekat, dengan membayar suatu biaya tertentu sebagi uang pengganti
biaya perawatan dan pemeliharaan. Dari hasil survey tercatat 101 rumah
memiliki atau memanfaatkan jasa listrik tersebut, selebihnya masih
mempergunakan lampu minyak.
Sarana
jalan di Desa ini masih berupa jalan setapak dengan kondisi berpasir
dan tidak ada saluran pembuangan air dikedua bahu jalannya. Sehingga
bila tejadi hujan timbul beberapa genangan air yang kadang - kadang
cukup dalam (mencapai 20 cm). Tapi karena jalannya berpasiwr, genangan
itu tidak bertahan lama.
Untuk sumber air bersih penduduk mengambil air bersih dari pancur (mata
air) dan sumur. Sejauh ini sumber - sumber air itu dianggap cukup
memadai.
Secara garis besar, desa Sekapung merupakan salah satu desa terbaik di wilayah Pulau Sebuku, setelah Sungai Bali dan Rampa.
DESA KANIBUNGAN
Desa yang terletak disebelah utara Desa Sekapung ini merupakan desa yang berpenduduk mayoritas suku Banjar Pahuluan. Merupakan
satu dari tiga desa tertua di Pulau ini, dengan topografi antara 0 – 50
m di atas permukaan laut. Kepala desa yang pertama menjabat adalah
Pembakal Pugu, lalu dilanjutkan oleh Pembakal Sibli, pembakal H.Basuni
bin H.Kadri, pembakal Dahlan, pambakal Embo Dauda, pembakal Hamzah dan
pembakal H.Amir bin H.Kadri.
Jika
melihat dari salah satu pembakal yang bernama Bugis (Embo Dauda),
terlihat bahwa integrasi antara dua suku (Banjar dan Bugis) sudah
terjadi sejak tahun 1950-an, atau sebelum itu. Kalaupun terjadi keadaan
hubungan yang tidak harmonis antara rentang waktu tahun 1970 – 1980-an,
lebih dominan terjadi dikalangan pemuda, sementara ditingkatan usia
dewasa/tua, tetap terjalin hubungan yang baik.
Sebagaimana di Desa Sekapung, penduduk asli Desa Kanibungan adalah dari masyarakat Banjar Laut Pulau.
Meskipun
sama – sama dari Suku Banjar, antara Banjar Laut Pulau dengan Banjar
Pahuluan, ada beberapa perbedaan pola kehidupan. Suku Banjar Pahuluan
lebih mirip dengan masyarakat Malayu pada umumnya, dengan agama Islam
sebagai agama mayoritas. Sementara Banjar Laut Pulau lebih mirip dengan
Suku Dayak dengan agama Islam bercampur Kaharingan sebagai agama
mayoritas. Namun demikian perlu kajian lebih lanjut mengenai perbedaan
kedua suku ini.
Penduduk
dari Banjar Pahuluan yang pertama tinggal di Desa ini, sulit untuk
diprediksi. Namun jika melihat bahwa mayoritas penduduk Kanibungan
adalah keturunan H.Ismail,maka dapat diasumsikan bahwa orang pertama
dari Suku Banjar Pahuluan yang tinggal di Desa Kanibungan adalah dari
orang yang berhubungan nasap dengan H.Ismail. Beberapa anggota
masyarakat yang juga berhubungan nasap dengan H.Ismail sebagian sudah
merantau keluar (ke Sungai Buah, Seratak, Berangas, Teluk
Gosong,Kotabaru, Banjarmasin,Balikpapan atau daerah lainnya). Sementara
penduduk yang masih menetap di Desa Kanibungan sebagian besar dari
keturunan Hj.Halimah (istri dari H.Kadri) bin H. Ismail.
Penduduk
Laut Pulau umumnya tidak terbiasa hidup dalam satu komunitas dengan
suku lain. Sehingga mereka biasanya membuat kelompok perumahan
tersendiri di kawasan yang agak terpencil. Saat ini sisa – sisa
keturunan dari Penduduk Laut Pulau terdapat di lokasi yang bernama
Telaga (suatu areal antara Desa Sekapung dan Kanibungan) dan sebagian
kecil di antaranya berintegrasi dengan masyarakat Banjar Pahuluan dalam
hubungan perkawinan.
H.Amir
yang sampai tulisan ini dibuat masih menjabat sebagai Kepala Desa
Definitif, adalah kepala desa tertua sekaligus paling lama menjabat,
diantara kepala-kepala desa di seluruh Pulau Sebuku. Beliau mula
menjabat di tahun 1960 dalam usia sekitar 40 tahun. Jadi sampai tahun
2004, usia beliau sudah mencapai 85 tahun dan telah menjabat sebagai
Kepala Desa selama hampir 45 tahun.
Mulanya
Desa Kanibungan melingkupi beberapa Dusun antara lain; Bagu Riam,
Kanibungan, Sungai Binjai, Gumbil, Pandan, Taluk Takapit, Pantai Buluh,
Mandin Libak, Mandin Luar dan Mirih. Terpisah-pisahnya kelompok ini
dalam dusun-dusun kecil selaras dengan lokasi-lokasi garapan
masing-masing kelompok dan tempat-tempat pinggir sungai yang ideal.
Sampai tahun 2004, Desa Kanibungan hanya terdiri atas dua dusun yaitu
Bagu (mulanya Sungai Binjai) dan Sungai Alas (penduduk Taluk Takapit
yang pindah ke lokasi baru berdampingan di sebelah utara Bagu). Bagu
riam yang mulanya ditempati oleh masyarakat suku Bugis, hanya tinggal
bekas – bekas perkebunannya yang tersisa, demikian pula Taluk Takapit
dan Pantai Buluh. Sementara
Mandin Libak,Mandin Luar dan Mirih memisah menjadi satu desa baru.
Sungai Alas sempat dimekarkan menjadi desa baru terpisah dengan
Kanibungan, dan sempat dipimpin oleh dua periode Kepala desa, yaitu
Ahmad Rasidi dan Sahip. Tetapi karena jumlah penduduknya yang sedikit,
sungai Alas kemudian digabung kembali dengan Kanibungan diakhir tahun
1990-an
Desa
yang dalam cacah jiwa tahun 1999, berpenduduk mencapai 586 jiwa ini,
terbagi dalam dua Rukun Tetangga dengan sebaran penduduk sebagai berikut
:
1) RT I 465 Jiwa
2) RT II 121 Jiwa
Wilayah RT I meliputi daerah Bagu / Kanibungan sedangkan wilayah RT II meliputi daerah Sungai Alas.
Kepadatan Penduduk Desa Kanibungan mencapai 25 jiwa per satu kilimeter perseginya. Angka ini mengindikasikan bahwa
kepadatan penduduk di wilayah Kanibungan, seperti penduduk di Desa lainnya masih dalam katagori kecil.
Migrasi
yang terjadi di Kawasan Kanibungan ,mirip dengan yang terjadi di
Sekapung yaitu lebih dominan bersifat Migrasi masuk ketimbang keluar.
Alasan yang melatarbelakanginyapun sama, yaitu motif ekonomi (mencari
pekerjaan). Kalaupun ada perbedaan, maka, di Kanibungan terdapat migrasi
keluar atau ke Lokasi baru. Hal ini terjadi sebelum kehadiran
perusahaan dengan motif mencari sumber penghidupan lebih baik ( motif
ekonomi), setelah kehadiran perusahaan , migrasi jenis ini nyaris tidak
terjadi lagi. Sebagaimana lazimnya Penduduk yang asal usulnya dari Hulu
Sungai Kalimantan Selatan, mayoritas penduduknya adalah Petani Karet dan
lada atau lebih umum disebut sahang. Dari survey pertama yang dilakukan
tercatat jumlah petani mencapai 140 orang atau 35.94% dari jumlah
penduduk usia produktif ( usia dewasa ), selebihnya 77 orang (19.54%)
sebagai Karyawan Perusahaan, 4 orang (1.01 %) Guru, 5 orang (1.26%)
pedagang ,dan selebihnya (42.25%) tidak memiliki mata pencaharian yang
tertentu. Tingginya angka pengangguran ini tidak terlepas dari masih
sempitnya cara berfikir dan keinginan untuk meningkatkan taraf hidup
melalui usaha yang nyata. Sebagian kecil dari mereka ikut kegiatan orang
tuanya. Sehingga angka pengangguran ini masih dalam katagori
pengangguran tidak ketara. Angka ketergantungannya mencapai 41
menunjukkan angka minimal pada kelompok ketergantungan yang tinggi,
Jumlah
penduduk usia sekolah yang aktif mengikuti pendidikan mencapai 59
siswa SD atau 37.58% dari 157 jumlah penduduk usia sekolah, 10 siswa
SMP (6.36%) dan selebihnya 56.06% adalah tamatan SD atau yang berhenti
dari SD yang tidak lagi melanjutkan pendidikannya ke SMP. Penduduk yang
tidak pernah mengecap pendidikan sama sekali atau pernah tetapi tidak
sampai tamat mencapai 234 orang atau 39.93% dari jumlah penduduk
keseluruhan.
Dari
segi kemapaman infrastruktur, Desa Kanibungan masih dibawah Desa
Sekapung, dengan jumlah bangunan rumah mencapai 101 buah, jumlah ini
belum memadai jika dibandingkan dengan jumlah Rumah Tangga yang
mencapai 162 Keluarga, sehingga masih ada sekitar 61 Keluarga yang belum
memiliki Rumah sendiri (menumpang/menyewa) . Kondisi Perumahannyapun relatif kurang baik, sebahagian besar memiliki ventilasi yang
kurang
memadai. Fasilitas umum yang ada di daerah ini terdiri atas dua buah
mesjid . Satu di wilayah Bagu dan satu di wilayah Sungai Alas. Selain
Dua Mesjid ini sampai tahun 1999 juga terdapat satu bangunan SD, satu
rumah bidan, satu pasar tradisional yang sudah kumuh dan tua serta
pelabuhan laut yang terletak berdampingan dengan pasar.
Untuk
penerangan, mayoritas mempergunakan mesin generator set. Selebihnya
ada yang mempergunakan petromak, lampu teplok/minyak dll.
Hubungan
ke desa lain berupa sarana jalan setapak , yang pada musim penghujan
sebagian lokasi berlumpur dan licin . Masyarakat setempat yang akan
bepergian ke desa lain umumnya berjalan kaki atau mempergunakan sarana
sepeda motor yang jumlahnya masih sangat terbatas.
Sungai
yang mengalir di sepanjang desa, menjadi tumpuan utama dalam memenuhi
kebutuhan masak, mandi, cuci dan Kakus. Beberapa buah sumur akan menjadi
alternative berikutnya jika musim kemarau tiba, karena umumnya sungai
akan menjadi keri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar